Teknologi kecerdasan buatan (AI) sering kita puja sebagai simbol kemajuan peradaban manusia. Zaman yang kita klaim lebih tepat, cepat, dan serba otomatis.
Namun di balik kecanggihannya, AI sejatinya adalah cermin dari nilai-nilai sosial yang membentuknya. Termasuk kita sebagai manusia yang menghadirkan dalam sebuah evolusi yang Panjang. Mesin-mesin pintar itu lahir dari cara manusia berpikir, berperilaku, dan mengambil keputusan.
Ketika algoritma memprediksi minat, mengatur informasi, bahkan menilai perilaku, sesungguhnya ia sedang menampilkan potret budaya kita sendiri. Apa yang kita anggap penting, apa yang kita pilih untuk dilihat, dan bagaimana kita memperlakukan sesama di dunia digital.
Dengan memahami hubungan ini, kita tidak hanya belajar tentang teknologi. Tetapi juga tentang kemanusiaan di era yang semakin terhubung oleh data dan kode.
Baca juga : Manusia Digital: Antara Konektivitas dan Kesepian Modern
Teknologi dan Konstruksi Sosial
Teknologi sejatinya bukan sekadar hasil dari kecanggihan ilmuwan atau perusahaan besar. Ia adalah produk budaya yang lahir dari kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat.
Seperti kata oleh sosiolog teknologi Trevor Pinch dan Wiebe Bijker dalam teorinya Social Construction of Technology (SCOT). Setiap inovasi membawa jejak sosial dari zamannya mulai dari cara berpikir hingga kepentingan ekonomi dan politik yang melingkupinya.
Coba lihat bagaimana kita menggunakan media sosial muncul bukan semata karena kemajuan digital, tetapi karena kita sebagai manusia ingin terakui, terhubung, dan terdengar.
Dengan kata lain, teknologi adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita dan apa yang kita anggap penting.
Namun, hubungan ini tak berhenti di titik penciptaan. Studi dari Shoshana Zuboff (2019) tentang Surveillance Capitalism. Menunjukkan bahwa teknologi kini juga membentuk kembali perilaku sosial dengan cara yang lebih sempit. Mengarahkan perhatian, membentuk opini, bahkan menentukan apa yang kita anggap “normal”.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat dan teknologi saling memengaruhi secara timbal balik. Jika dulu masyarakat menciptakan mesin, kini mesin ikut mengarahkan arah peradaban manusia.
Maka, memahami konstruksi sosial di balik teknologi menjadi penting agar kita tidak hanya menjadi pengguna yang pasif. Tapi juga pengendali masa depan digital yang lebih etis dan manusiawi.
Nilai-Nilai yang Tersisip dalam Desain Teknologi
Setiap tombol, fitur, hingga warna dalam aplikasi yang kita gunakan sebenarnya menyimpan “pesan sosial” dari para perancangnya.
Menurut Langdon Winner (1980) dalam esainya Do Artifacts Have Politics?, teknologi kecerdasan buatan tidak pernah netral; ia selalu membawa nilai dan kepentingan tertentu.
Misalnya, algoritma media sosial yang menampilkan konten viral lebih dulu bukanlah keputusan teknis semata, tapi bentuk dorongan terhadap budaya instan dan hiburan cepat.
Desain seperti ini memperlihatkan bagaimana ideologi kapitalisme digital yang mengutamakan perhatian dan klik menyusup halus ke dalam rutinitas online kita.
Dengan kata lain, teknologi bukan hanya alat bantu, tapi juga medium yang memantulkan dan memperkuat nilai-nilai zaman.
Riset lain oleh Safiya Noble dalam bukunya Algorithms of Oppression (2018) menunjukkan bahwa sistem algoritmik bahkan dapat mereproduksi bias sosial. Termasuk diskriminasi ras dan gender, karena data yang kita gunakan merefleksikan ketimpangan di dunia nyata.
Artinya, nilai dan norma masyarakat bisa “tertanam” di balik kode yang tampak objektif. Fenomena ini memberi pelajaran penting bagi generasi digital hari ini: memahami teknologi berarti juga memahami nilai yang terkandung di baliknya.
Jika kita sadar akan hal itu, maka kita bisa menjadi pengguna yang lebih kritis tidak sekadar menikmati kecanggihan, tapi juga berani menuntut keadilan dan transparansi di balik layar dunia digital.
Teknologi sebagai Agen Pembentuk Perilaku Sosial
Teknologi kecerdasan buatan kini tidak lagi sekadar mengikuti perilaku manusia, tetapi mulai mengarahkan bagaimana manusia berperilaku.
Menurut Marshall McLuhan dalam konsep terkenalnya “the medium is the message” (1964), setiap media memiliki kekuatan membentuk cara manusia berpikir, berkomunikasi, dan berinteraksi.
Kita bisa melihatnya dalam kehidupan sehari-hari: percakapan yang dulu berlangsung tatap muka kini bergeser ke ruang digital, dengan emoji menggantikan ekspresi wajah dan story menjadi bentuk baru dari bercerita.
Fenomena ini menunjukkan bahwa teknologi tidak hanya memudahkan, tetapi juga membingkai ulang cara manusia memahami makna kedekatan, waktu, bahkan perhatian.
Penelitian Sherry Turkle (2011) dalam bukunya Alone Together menegaskan hal serupa bahwa manusia modern sering merasa terhubung secara digital, namun kesepian secara emosional.
Platform digital menciptakan ilusi kedekatan, padahal yang terjadi sering kali hanyalah pertukaran data tanpa empati.
Dari sinilah kita bisa menyadari bahwa teknologi bukan entitas pasif; ia memiliki “daya sosial” yang mampu mengubah struktur relasi manusia.
Maka, tantangan generasi kini bukan hanya bagaimana menggunakan teknologi dengan cerdas, tetapi bagaimana tetap menjadi manusia yang utuh di tengah arus komunikasi yang serba cepat dan terukur oleh algoritma.
Refleksi Kritis terhadap Masa Depan Teknologi dan Nilai Sosial
Setiap kemajuan teknologi seharusnya tidak hanya terukur dari seberapa cepat ia bekerja, tetapi seberapa dalam ia memahami manusia.
Yuval Noah Harari (2018) dalam 21 Lessons for the 21st Century mengingatkan bahwa masa depan peradaban tidak akan ditentukan oleh mesin yang paling canggih, melainkan oleh nilai-nilai yang kita tanamkan di baliknya.
Ketika kecerdasan buatan mampu meniru bahasa, emosi, bahkan keputusan manusia, pertanyaan yang muncul bukan lagi “apa yang bisa AI lakukan?”, melainkan “untuk siapa dan dengan nilai apa teknologi itu kita gunakan?”.
Refleksi ini penting karena setiap klik dan kode kini berpotensi membentuk arah kemanusiaan. Apakah menuju solidaritas, atau justru keterasingan baru yang terbungkus kecanggihan digital.
Riset dari Kate Crawford (2021) dalam Atlas of AI menunjukkan bahwa teknologi modern tidak bebas nilai. Ia kita bangun di atas keputusan sosial, ekonomi, dan politik yang sering kali berpihak pada kepentingan tertentu.
Itulah mengapa etika dan empati menjadi fondasi yang tak bisa kita abaikan dalam pengembangan AI.
Jika generasi muda ingin masa depan digital yang adil dan manusiawi, maka literasi teknologi harus diiringi literasi moral.
Kesadaran ini bukan sekadar soal menjaga privasi atau keamanan data, tapi tentang memastikan bahwa kemajuan digital tetap berpihak pada martabat manusia. Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah cermin dari siapa kita memilih untuk menjadi.
Penutup
Dari berbagai sudut pandang yang telah dibahas, jelas bahwa teknologi bukan sekadar hasil kecerdasan manusia, melainkan juga refleksi dari nilai-nilai sosial yang membentuknya.
Ia lahir dari konteks budaya, politik, dan ekonomi tertentu, lalu tumbuh menjadi kekuatan yang membentuk kembali cara kita berpikir, berinteraksi, dan memaknai dunia.
Karena itu, memahami teknologi berarti juga memahami diri kita sendiri sebagai masyarakat yang terus berubah.
Dalam konteks kecerdasan buatan, kesadaran ini menjadi semakin penting: algoritma bukan hanya kumpulan logika, tetapi cerminan dari moralitas manusia yang menulisnya.
Ke depan, tantangan terbesar bukan lagi menciptakan mesin yang lebih cerdas, tetapi memastikan bahwa kecerdasan itu tumbuh bersama nilai-nilai kemanusiaan.
Dunia digital membutuhkan etika, empati, dan tanggung jawab sosial agar tidak terjebak dalam paradoks. Semakin terkoneksi namun semakin terasing.
Generasi muda Indonesia, sebagai pengguna dan pencipta teknologi masa depan, memiliki peran penting untuk memastikan bahwa inovasi tidak kehilangan nurani.
Karena sejatinya, masa depan bukan ditentukan oleh teknologi yang kita bangun, tetapi oleh nilai-nilai manusia yang kita jaga di dalamnya.
“Kecerdasan buatan mungkin mampu meniru cara berpikir manusia, tetapi hanya manusia yang mampu memberi arah bagi makna dan nurani di dalamnya.” (Basmar 2025)
Tinggalkan Balasan