Evolusi Dialog Dunia Digital: Dari Plato ke Platform

posted in: Wacana | 0
Kita bakal ngulik AI dari sudut pandang sosial sains, biar kita semua makin paham nih, gimana sih teknologi ini sebenarnya membentuk cara kita berinteraksi dan bahkan berpikir di era digital.

Evolusi dialog dunia digital.  Kali ini, kita bakal ngobrolin sesuatu yang lagi hits banget, tapi jarang banget kita bedah dari kacamata sosial, yaitu Artificial Intelligence (AI).

Eh, tapi tunggu dulu, ini bukan bahas robot-robotan yang bisa ngalahin manusia di film sci-fi ya!

Kita bakal ngulik AI dari sudut pandang sosial sains, biar kita semua makin paham nih, gimana sih teknologi ini sebenarnya membentuk cara kita berinteraksi dan bahkan berpikir di era digital.

Baca juga: Etika dalam Dunia Algoritma: Siapa yang Bertanggung Jawab?

1.    Potret Komunikasi ala Plato

Pernah enggak sih kalian mikir atau kebayang. Kenapa obrolan kamu di medsos sekarang kok rasanya beda banget sama obrolan sama teman-teman di dunia nyata?

Padahal yang bedain hanya medianya aja, bahkan dengan VC kita bisa ngeliat wajah dan mimiknya secara langsung.

Tapi pada kenyataannya.

Rasanya obrolan kayak kita cuma ngomong buat lebih terlihat, bukan buat untuk terdengar.

Kalau itu kenyataannya, maka di sinilah AI punya peran yang enggak kecil.

a.     Dialog sebagai Fondasi Filsafat: Warisan Plato

Pengen ngulang  cerita nih, dulu banget, zaman Plato, dialog itu fundamental banget.

Obrolan itu tujuannya buat mencari kebenaran, buat ngegali makna, buat ngasah akal sehat (logos).

Makanya Plato percaya, bahwa dengan ngobrol yang mendalam, kita bisa mendekati kebijaksanaan.

Dulunya, Enggak ada tuh yang namanya FOMO (Fear Of Missing Out) atau pressure buat selalu update status. Yang ada cuma pure diskusi buat nambah wawasan.

Evoluasi dialog dunia digital. Potret Komunikasi ala Plato

b.    Dari Pencarian Makna ke Panggung Eksistensi

Sekarang, coba Kamu lihat sekeliling kita.

Instagram, TikTok, Twitter (atau X), semuanya kayak panggung raksasa yang sangat luas.

Disitu terkadang kita upload foto keren, video joget, atau tweet yang lagi viral, bukan semata-mata buat berbagi pengalaman, tapi lebih ke menunjukkan eksistensi.

Artinya kita sering bermedsos ria, selalu saja ingin tampil dan nggak pengen ketinggalan informasi, apapun itu, semua kita lahap.

Kita kayak pengen bilang, “Hei, gue ada lho! Gue aktif! Gue keren!”

Sosiolog Jean Baudrillard dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981) pernah bilang, kita ini hidup di era hiperrealitas.

Udah melampaui hal-hal yng realis, sehingga terkadang otak normal kita nggak nyampe kesana mikirnya.

Sekarang ini katanya, Realitas itu udah enggak penting lagi, yang penting itu tanda dan citra-nya.

Ibaratnya, kayak es krim, yang penting itu fotonya kelihatan aesthetic buat di-post, bukan rasa es krimnya sendiri.

Nah, di dunia digital, like atau jempol ini jadi simbol pengakuan sosial yang menggantikan “logos”-nya Plato.

Dulu, nalar itu yang kita cari. Sekarang, jumlah like yang jadi tolok ukur. Miris, tapi ini realitas, hidup sudah kayak mesin aja. (huppzzz)

c.     Tekanan untuk Selalu Terlihat Aktif

Pernah ngerasa guilty kalau sehari aja enggak buka medsos? Atau ngerasa ketinggalan berita kalau enggak scroll timeline terus-menerus?

Katanya itu merupakan salah satu dampak dari tekanan sosial baru yang terbentuk oleh media digital.

Peneliti keren kayak Sherry Turkle (2017) dan danah boyd (2014) udah nunjukkin, media sosial bikin kita ngerasa harus always on, harus selalu kelihatan aktif.

Akibatnya? Banyak dari kita terjebak dalam apa yang namanya performative communication.

Kita ngomong bukan buat didengar atau dipahami, tapi biar dilihat orang lain. Biar FYP (For You Page), biar trending.

Pesan yang kita sampaikan jadi sering disesuaikan sama algoritma, bukan sama nilai-nilai personal atau ide-ide keren yang kita punya.

Komunikasi jadi bukan lagi proses dua arah, tapi usaha mati-matian buat mempertahankan citra diri di mata sistem yang nilai kita dari angka engagement. Capek, kan?

2.    Ekonomi Perhatian dan Krisis Makna Digital

Evolusi dialog dunia digital. Kok bisa sih jadi kayak gini? Nah, ini enggak lepas dari yang namanya attention economy alias ekonomi perhatian.

Di era digital ini, perhatian kita itu komoditas paling berharga. Tiap scroll, tiap like, tiap komen, itu semua data dan duit buat platform. 

Nick Couldry dan Andreas Hepp dalam The Costs of Connection (2019) bilang, interaksi digital itu sekarang udah jadi bentuk kapital baru.

Ketika like udah jadi mata uang sosial, percakapan kita kehilangan kedalaman filosofisnya.

Tadinya ngobrol itu buat tukar pikiran, sekarang jadi ajang tukar emosi dangkal. “Ah, yang penting viral!” atau “Yang penting banyak like!”

Inikan salh sati dari efek yang kurang baik.

Jadi, tantangan etis kita sebagai manusia modern bukan cuma belajar ngomong yang bijak, tapi juga berani sesekali diam dengan sadar.

Berani enggak selalu tampil, biar ada ruang buat makna yang lebih sejati. Keren kan

Jadi, intinya, kita lagi ngalamin pergeseran besar dalam cara kita berkomunikasi.

Dari yang tadinya ngejar logos (akal dan kebenaran), sekarang malah ngejar like (pengakuan instan).

Ekonomi Perhatian dan Krisis Makna Digital

a.     Dari Pencarian Makna ke Pencarian Perhatian

Dulu, orang ngobrol itu buat nyari makna, buat debat kusir yang mencerahkan.

Sekarang, obrolan itu seringnya cuma jadi panggung buat kita nunjukkin diri dan ingin ada pengakuan dari orang lain.

Media sosial udah mengubah komunikasi jadi semacam reality show tanpa henti.

Yang penting itu bukan substansinya, tapi kita mengolah dengan absurd gimana tampilannya, gimana packaging-nya, apa kata netizen? Ha haaaa

Makanya, enggak heran kalau kita sering lihat konten-konten yang cuma “pencitraan” doang, tapi viral banget.

Padahal nilai edukasinya nggak ada sama sekali.

b.    Komunikasi yang Semakin Performatif

Kalian pasti pernah ngerasain kan, gimana media sosial bikin kita tertekan buat selalu eksis? Bikin kita harus selalu tampil.

Harus update, harus upload, harus komen.

Evolusi dialog dunia digital. Penelitian dari Sherry Turkle dan danah boyd udah jelasin banget fenomena ini. Kita jadi kayak aktor di drama kehidupan kita sendiri.

Sebenarnya kita sedang mngelamin Ngomong buat dilihat, bukan buat didengar.

Pesan yang kita sampaikan, kadang tanpa sadar, kita sesuaikan dengan algoritma. “Oh, kalau bahas ini kayaknya bakal rame nih,” atau “Ini cocok buat trending.”

Alhasil, komunikasi jadi semacam kompetisi citra.

Ruang publik digital itu sekarang kayak cermin, cuma nunjukkin apa yang pengen kita pamerin, bukan siapa kita sebenarnya.

Jadi, diri kita yang autentik itu kadang tersembunyi di balik persona digital.

c.     Perhatian dan Krisis Makna

Perubahan ini, sekali lagi, enggak bisa dipisahin dari attention economy.

Setiap unggahan, setiap komen, setiap foto, itu semua jadi “komoditas” yang diperdagangkan di pasar data. 

Couldry dan Hepp bener banget, interaksi digital itu sekarang bentuk kapital baru.

Data pribadi dan perhatian kita jadi berharga.

Ketika like udah jadi mata uang sosial, obrolan kita jadi kehilangan esensinya.

Dari yang tadinya filosofis, jadi transaksional. “Gue kasih like lo, lo kasih like gue.” “Gue komen lo, lo komen gue.” Gitu aja sahut-sahutan kaya burung beo.

Evolusi dialog dunia digital. Dalam lanskap komunikasi kayak gini, tugas etis kita adalah mengembalikan percakapan ke makna aslinya: ngobrol bukan buat dilihat, tapi buat saling memahami. Sulit, tapi bukan berarti mustahil!

3.    Algoritma sebagai Moderator Baru dalam Ruang Dialog

Nah, ini dia nih biang kerok yang sering banget kita lupain: algoritma.

Mereka ini sekarang jadi moderator baru di ruang dialog kita.

Algoritma ini seolah menjadi penentu dari segala yang kita ungkapkan di dunia digital.

Algoritma sebagai Moderator Baru dalam Ruang Dialog

a.     Ketika Nalar Digantikan oleh Algoritma

Zaman Plato, obrolan itu dipandu nalar dan etika. Kita mikir bareng, nimbang kebenaran.

Sekarang? Peran itu perlahan digantikan sama algoritma.

Mereka yang nentuin apa yang kita lihat, siapa yang kita dengar, bahkan topik apa yang lagi hot.

Algoritma itu sekarang jadi “penjaga gerbang” percakapan publik. Tapi, bukan berdasarkan kebenaran, melainkan tingkat engagement.

Akibatnya? Ruang dialog yang seharusnya terbuka, malah jadi echo chamber alias gelembung gema. Kita cuma dengar pandangan yang sama kayak kita, dan yang beda disingkirkan.

Kayak di kamar mandi, suara kita balik lagi ke kita. Jadinya, kita makin yakin kalau pandangan kita doang yang paling bener, padahal di luar sana banyak sudut pandang lain.

b.    Logika Platform dan Krisis Kebebasan Berpikir

Eli Pariser dalam The Filter Bubble (2011) udah ngasih peringatan keras soal bahaya kurasi algoritma ini.

Dia bilang, algoritma itu cuma nampilin informasi yang sesuai sama minat kita.

Kelihatan enak sih, tapi sebenarnya ini ngebatasin kebebasan berpikir kita.

Kita cuma ngelihat realitas yang udah disaring sama mesin.

Mirip kayak orang yang cuma makan makanan kesukaan doang, enggak mau coba yang lain.

Hal serupa juga diungkap sama Safiya Noble di Algorithms of Oppression (2018). Dia nunjukkin gimana algoritma itu sering banget memperkuat bias sosial dan ideologi tertentu.

Jadi, teknologi yang kita kira netral itu, ternyata punya agenda pasar dan kekuasaan di baliknya.

Mereka memengaruhi cara kita melihat dunia. Bagaimana? Serem, kan?

c.     Membangun Etika Dialog di Dunia yang Terkurasi

Tantangan terbesar kita sebagai Gen Z bukan cuma paham gimana algoritma kerja. Tapi juga gimana caranya punya kesadaran kritis sama mereka. 

Evolusi dialog dunia digital. Byung-Chul Han di In the Swarm: Digital Prospects (2017) bilang, kita ini hidup di “masyarakat transparansi.” Semua pengen terlihat, tapi sedikit yang benar-benar paham.

Buat balikin makna dialog yang sejati, kita harus hidupin lagi nilai-nilai reflektif dalam komunikasi.

Berani dengerin pandangan beda, berani ngetes pendapat sendiri, dan enggak gampang kejebak kenyamanan algoritma.

Karena, kayak kata Plato, dialog sejati itu cuma bisa tumbuh kalau kita berani keluar dari “gua bayangan” menuju cahaya pemahaman yang sesungguhnya. Filosofis banget, tapi relevan!

4.    Menuju Etika Dialog Digital: Menghidupkan Kembali Semangat Socratic

Jadi, gimana dong biar kita enggak makin tersesat di rimba digital ini?

Kita perlu etika dialog digital, yang bisa menghidupkan kembali semangat Socratic yang legendaris.

Evolusi Dialog dunia Digital: Menghidupkan Kembali Semangat Socratic

a.     Membangun Kembali Ruang Dialog yang Manusiawi

Tantangan utama di era digital ini bukan sekadar adaptasi teknologi. Tapi gimana caranya kita tetap jadi manusia di dalamnya.

Dunia maya yang serba cepat ini bikin kita gampang banget bereaksi tanpa mikir panjang.

Padahal, kayak yang diajarin Socrates, obrolan sejati itu lahir dari kemauan untuk mendengar, bukan cuma ngomong doang.

Selanjutnya Dalam konteks ini, etika dialog digital itu berarti mengembalikan percakapan ke nilai-nilai kemanusiaan: jujur, empati, dan sadar dalam berpikir.

Dengan prinsip itu, ruang digital bisa jadi arena belajar bareng, bukan cuma ajang adu argumen atau war komentar.

Bayangin deh, kalau semua bisa kayak gitu, pasti feel-nya beda banget!

b.    Etika Digital dan Kesadaran Reflektif

Filsuf keren Luciano Floridi di The Ethics of Information (2013) pernah ngomong pentingnya membangun infosphere alias ruang informasi yang sehat.

Di sana, setiap orang punya tanggung jawab moral atas apa yang mereka bagikan dan konsumsi.

Kita ini bukan cuma user, tapi juga “aktor moral” yang ikut nentuin arah ekosistem pengetahuan.

Semangat ini pas banget sama etika Socratic: berani bertanya, rendah hati buat enggak selalu ngerasa benar, dan bertanggung jawab menjaga kualitas dialog.

Jadi Ini bukan cuma soal pintar, tapi juga bijak.

c.     Dari Algoritma ke Kebijaksanaan Digital

Gen Z punya peluang besar banget buat ngebangun budaya komunikasi yang baru. Yang lebih reflektif, lebih kritis, dan pastinya lebih bermakna.

Kita bisa manfaatin teknologi bukan buat bikin obrolan makin cepat, tapi buat memperdalam pemahaman kita.

Kayak yang dibilang Martha Nussbaum di Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (2010), masyarakat yang sehat itu cuma bisa tumbuh kalau warganya terlatih buat berpikir kritis dan punya empati.

Nah, itu dia inti dari semangat Socratic yang perlu kita hidupkan lagi di era platform ini.

Bukan buat nolak kemajuan teknologi, tapi biar teknologi itu tetap berpihak sama manusia.

Biar kita didorong buat berdialog, bukan cuma sekadar berkomentar.

Selanjutnya Gimana? Makin melek kan sama fenomena di balik layar digital kita?

Semoga artikel ini bisa jadi bahan bakar buat kita semua makin kritis dan bijak dalam berselancar di dunia maya.

Ingat, teknologi itu alat, kita yang mengendalikan.

Jangan sampai sebaliknya! Tetap semangat jadi agen perubahan positif di era digital ini ya!

Sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *